Ngaji Kitab Asik ala Santri Sunda: Serius tapi Penuh Canda

Ngaji Kitab Asik ala Santri Sunda: Serius tapi Penuh Canda

Ngaji Kitab Asik ala Santri Sunda: Serius tapi Penuh Canda

Tradisi mengaji kitab kuning di pesantren adalah tulang punggung pendidikan Islam di Indonesia. Namun, jika Anda berkesempatan mengintip majelis ngaji di pesantren-pesantren Tatar Pasundan (Sunda), Anda akan menemukan keunikan yang membuatnya berbeda: suasana yang serius tapi penuh canda.

Para Ajengan (Kiai/Ulama Sunda) memiliki seni tersendiri dalam menyampaikan ilmu agama yang berat, sehingga santri tidak hanya mendapatkan ilmu, tetapi juga hiburan, motivasi, dan kecintaan pada tradisi keilmuan Islam.

1. Bahasa Sunda: Jembatan Ilmu dan Humor

Kunci utama keasyikan ngaji ala santri Sunda adalah penggunaan Bahasa Sunda Loma (akrab) dalam proses Bandongan atau Sorogan.

Ketika seorang Kiai sedang mengupas matan (teks utama) kitab yang berbahasa Arab klasik (gundul), terjemahan yang disisipkan tidak hanya lugas, tetapi juga sering dibumbui dengan paribasa (peribahasa) dan analogi lucu yang khas Sunda.

  • Contoh: Ajengan menjelaskan tentang kesabaran, lalu disisipkan humor tentang salaki (suami) yang cerewet di rumah. Santri akan tertawa terpingkal-pingkal karena ceritanya relatable (sesuai pengalaman) dengan kehidupan sehari-hari, namun esensi hukum fikih atau akhlaknya tetap tertanam kuat.
  • Istilah Khas: Para Ajengan sangat mahir menggunakan istilah-istilah Sunda yang mengena, membuat konsep-konsep abstrak dalam tasawuf atau tauhid menjadi lebih membumi.

2. Tradisi Nadoman dan Sholawat yang Energik

Pesantren Sunda dikenal kaya akan tradisi Nadhom (pelantunan teks kitab/syair) dan Sholawat. Teks-teks dasar ilmu agama, seperti Jurumiyah (Nahwu) atau Sullamut Taufiq (Fiqih), seringkali diubah menjadi lantunan lagu yang diiringi rebana atau hanya ketukan tangan.

Metode ini, yang dikenal sebagai Nadhom Sunda, memiliki fungsi ganda:

  1. Memudahkan Hafalan: Irama lagu membuat materi pelajaran lebih mudah diingat.
  2. Membangun Semangat: Suasana majelis menjadi hidup dan energik, menghilangkan rasa kantuk atau jenuh setelah berjam-jam berkutat dengan kitab kuning.

3. Filosofi “Ngaji Bari Seuri” (Mengaji Sambil Tertawa)

Humor yang digunakan oleh Ajengan Sunda bukanlah sekadar lelucon, melainkan metode dakwah yang efektif, berlandaskan filosofi:

“Ilmu yang disampaikan dengan kegembiraan akan lebih mudah meresap daripada yang disampaikan dengan ketakutan.”

Dengan menciptakan suasana santai, Ajengan membangun hubungan emosional yang kuat (batin) dengan santrinya. Santri tidak takut bertanya atau membuat kesalahan, karena tahu Kiai mereka adalah sosok yang dekat dan tidak menghakimi, meski tetap teguh pada disiplin ilmu.

Sentuhan canda ini seringkali menjadi ice breaker saat membahas bab-bab yang kompleks dalam fikih atau ushul fikih, memastikan konsentrasi santri kembali penuh setelah tawa sejenak.

Tonton Langsung Suasana Asiknya di Channel Kang Herman

Jika Anda penasaran ingin menyaksikan langsung bagaimana serunya suasana pengajian yang serius namun penuh humor khas Sunda ini, Anda bisa mengunjungi channel YouTube Kang Herman (https://www.youtube.com/@kangherman). Channel ini sering menyajikan cuplikan ceramah dan pengajian dari para Ajengan Sunda terkemuka yang viral. Melalui konten di sana, Anda akan melihat bagaimana Ajengan berhasil menyisipkan seuri (tawa) di tengah materi agama yang mendalam, membuktikan bahwa belajar ilmu Allah bisa dinikmati dengan penuh kegembiraan. Jangan sampai ketinggalan, segera kunjungi dan subscribe!

Warisan yang Menjaga Sanad dan Budaya

Tradisi ngaji yang asik ini membuktikan bahwa mendalami ilmu Islam yang bersanad dan mendalam (turats) tidak harus kaku. Pesantren Sunda berhasil menggabungkan:

  • Keseriusan Sanad: Ajengan tetap menjaga rantai keilmuan yang tersambung hingga Rasulullah SAW.
  • Kearifan Lokal: Budaya Sunda (bahasa, etika, humor) diintegrasikan untuk memperkaya dan memudahkan penerimaan ajaran.

Hasilnya? Ribuan alumni pesantren Sunda lahir sebagai ulama yang tidak hanya menguasai ilmu agama, tetapi juga memiliki keramahan (someah) dan keluwesan dalam berdakwah di tengah masyarakat, menjadi jembatan antara teks klasik dan realitas kontemporer.

Leave a Reply