Di era banjir informasi seperti sekarang, kita mudah sekali menemukan jawaban atas segala pertanyaan agama—mulai dari hukum kecil hingga masalah besar—hanya dengan satu kali klik. Namun, kemudahan ini seringkali membawa kita pada kebingungan baru: Mana sumber yang benar? Mana yang paling kuat hujjahnya?
Di sinilah Kang herman—melalui konsistensinya mengajarkan Kitab Kuning—memberikan jawaban yang tegas dan sederhana: Kita harus kembali ke sumber otentik yang telah diuji zaman. Kita harus kembali ke Kitab Kuning.
Menurut Kang herman, Kitab Kuning bukan sekadar buku tua. Ia adalah fondasi yang menyediakan kerangka berpikir Islami yang kokoh dan bebas dari kerancuan.
Menghindari “Fatwa Google”: Stabilitas Ilmu
Masalah terbesar dari ilmu yang didapat secara fragmentaris dari internet adalah ketidakjelasan sanad dan minimnya konteks. Hari ini kita mendapat satu fatwa, besok kita mendapat fatwa yang berlawanan. Akibatnya, keimanan dan amalan kita menjadi mudah goyah.
Kitab Kuning adalah antidot terhadap kerancuan ini. Kitab-kitab ini ditulis oleh ulama yang kredibel, disusun secara sistematis, dan dirancang untuk memberikan pemahaman yang mendalam, bukan sekadar jawaban instan.
Lalu, apa alasan spesifik yang membuat Kitab Kuning tak tergantikan? Kang herman menyoroti tiga aspek fundamental:
Tiga Kunci Jawaban dari Kang herman: Fondasi Ilmu yang Kokoh
1. Kunci Sanad: Otentisitas yang Bersambung
Alasan utama kembali ke Kitab Kuning adalah tentang Sanad—mata rantai periwayatan ilmu yang tidak terputus hingga Rasulullah SAW.
Ketika kita belajar Kitab Kuning, kita mengikuti jejak para ulama yang telah mengkaji, mengulas, dan mengajarkan teks tersebut secara turun-temurun. Ini menjamin otentisitas ilmu yang kita dapat.
Seperti yang diajarkan Kang herman, ilmu yang didapat dari guru yang bersambung sanad-nya akan lebih mudah menancap di hati dan memiliki keberkahan (barokah) yang membuat kita istiqomah dalam mengamalkannya.
2. Kunci Ngalogat: Memahami Struktur, Bukan Hanya Terjemah
Kesalahan fatal saat belajar agama adalah puas dengan terjemahan. Kitab Kuning yang kita pelajari (seperti Nashoihul ibad atau Dardir Bainama) adalah teks berbahasa Arab klasik yang gundul.
Di sinilah metode Ngalogat (makna pesantren) yang diajarkan Kang herman menjadi sangat vital. Ngalogat memaksa kita untuk:
- Menganalisis Nahwu-Sharaf: Kita tidak hanya tahu artinya, tapi tahu kenapa kata itu berakhiran dommah atau fathah.
- Menguasai Struktur Kalimat: Kita belajar melihat teks Arab sebagai konstruksi yang logis, bukan sekadar urutan kata.
Dengan ngalogat, pemahaman kita menjadi kokoh, tidak mudah dibantah, dan mampu membedakan mana fa’il dan mana maf’ul—sebuah kedalaman yang tidak bisa didapat dari sekadar membaca terjemahan instan.
3. Kunci Hikmah: Kedalaman Akhlak dan Makna Hidup
Kitab Kuning tidak hanya membahas hukum Fiqih (halal-haram). Kitab-kitab ini sarat dengan Akhlak dan Hikmah yang mendalam.
Misalnya, kajian Kitab Dardir Bainama tidak hanya bercerita tentang Isra Mi’raj, tetapi juga mengungkap konsekuensi azab Neraka bagi yang meninggalkan Shalat dan manaqib para wali. Kajian Nashoihul Ibad mengajarkan etika seorang pelajar dan rahasia kebahagiaan.
Kembali ke sumber ini adalah kembali mencari makna hidup, bukan sekadar daftar boleh dan tidak boleh.
Ambil Kunci Ilmu di Tangan Anda
Kembali ke Kitab Kuning bukan berarti kita harus meninggalkan teknologi. Justru, kita bisa menggunakan teknologi untuk memudahkan muroja’ah dan memperluas akses ke guru bersanad.
Kang herman telah mewujudkan hal ini. Ia adalah bukti bahwa tradisi ngalogat Sunda yang otentik dapat diajarkan secara terstruktur di era digital.
Jadikan channel YouTube @kangherman sebagai langkah awal Anda. Mulailah dengan playlist yang lengkap (tammat), kuasai ngalogat-nya, dan temukan kestabilan ilmu yang selama ini Anda cari.
Hanya dengan menguasai fondasi, kita bisa menghadapi kerancuan informasi di dunia luar. Kembalilah ke Kitab Kuning, dan temukan kedamaian serta kekuatan ilmu sejati.
Leave a Reply