Sejarah AI dari Turing hingga Deep Learning: Wajibkah Muslim Menguasainya?

Sejarah AI dari Turing hingga Deep Learning: Wajibkah Muslim Menguasainya?

Kecerdasan Buatan (AI) kini menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup kita, mulai dari asisten di ponsel hingga rekomendasi tontonan. Namun, tahukah Anda dari mana teknologi canggih ini berasal dan siapa saja tokoh di baliknya? Lebih penting lagi, bagaimana seharusnya kita sebagai Muslim memandang ilmu dan teknologi ini?

Kang Herman dalam videonya mengajak kita menyelami sejarah AI dan menegaskan bahwa memahami sejarah adalah kunci agar kita menjadi individu yang bijak dalam menyikapi teknologi.

1. Peletak Dasar AI: Dari Pertanyaan Filosofis hingga Nama Resmi

Akar modern AI mulai tumbuh pada tahun 1950-an. Salah satu nama terpenting adalah:

  • Alan Turing: Seorang matematikawan jenius yang mengajukan pertanyaan fundamental: “Bisakah mesin berpikir?”. Pertanyaan ini melahirkan Turing Test, sebuah ujian untuk menentukan apakah perilaku cerdas sebuah mesin dapat dibedakan dari manusia. Gagasan Turing menjadi fondasi filosofis seluruh bidang AI.
  • John McCarthy: Beliau adalah tokoh yang pada tahun 1956 di Dartmouth College, Amerika Serikat, secara resmi mengusulkan nama “Artificial Intelligence” (Kecerdasan Buatan). Bersama pionir lain seperti Marvin Minsky, Allen Newell, dan Herbert Simon, McCarthy meletakkan dasar-dasar AI dan bahasa pemrogramannya].

Perjalanan AI tidak selalu mulus, sempat terjadi masa sulit yang disebut AI Winter karena janji-janji yang terlalu muluk tidak kunjung terwujud.

2. Revolusi Modern: Era Deep Learning

Gelombang baru AI muncul berkat tiga tokoh yang sering dijuluki “The Godfathers of Deep Learning”:

  • Joffre Hinton
  • Yan Leun
  • Yoshua Benjio

Merekalah yang menghidupkan kembali penelitian tentang Jaringan Saraf Tiruan (neural networks) yang terinspirasi dari cara kerja otak manusia. Berkat kegigihan mereka, lahirlah teknologi Deep Learning yang menjadi mesin penggerak revolusi AI saat ini, memungkinkan pengenalan wajah, penerjemah otomatis, hingga mobil otonom.

3. AI dalam Perspektif Islam: Ladang Ibadah dan Amal Jariah

Mengenal sejarah para tokoh ini mengajarkan kita tentang kegigihan dan optimisme. Namun, bagaimana Islam memandang ilmu teknologi ini?

Islam memandang menuntut ilmu (thalabul ilm) sebagai kedudukan yang sangat tinggi. Rasulullah SAW bersabda, “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim”. Ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk AI, adalah bagian dari ilmu yang bermanfaat yang tidak boleh disia-siakan.

  • Bentuk Tafakur: Mengembangkan AI adalah bentuk tafakkur (perenungan) yang mendalam terhadap ciptaan Allah. Dengan mencoba mereplikasi kecerdasan dalam bentuk teknologi, kita sedang mencoba memahami sebagian kecil dari keagungan ciptaan-Nya, yaitu akal dan kecerdasan.
  • Amal Jariah: Jika kita belajar atau mengembangkan AI dengan niat untuk membantu sesama, memudahkan urusan manusia, atau menyebarkan kebaikan, setiap detik yang dihabiskan bernilai pahala. Misalnya, menciptakan alat bantu bagi penyandang disabilitas, sistem deteksi penyakit dini, atau platform pendidikan yang lebih baik].
  • Rahmatan Lil Alamin: Penggunaan AI untuk kebaikan adalah manifestasi dari konsep Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam.

Oleh karena itu, umat Islam tidak boleh menjadi konsumen teknologi yang pasif, melainkan harus menjadi Muslim yang cerdas, yang mampu memanfaatkan karunia akal dan teknologi untuk membawa manfaat, bukan mudarat.

Anda dapat menyaksikan penjelasan lengkap dari Kang Herman pada video berikut:

Leave a Reply